Senin, 20 April 2009

jalan yang ku rindukan

Namaku felicia, aku seorang kristiani. Bisa dibilang aku merupakan kristiani yang taat. Setiap hari minggu aku pergi ke gereja untuk sembahyang. Papaku berasal dari francis sedangkan ibuku berasal dari menado. Aku dilahirkan dan dibesarkan di francis. Sejak umurku 6 tahun aku dibawa ke indonesia dan sampai sekarangpun aku masih menetap disini.
Dari mulai sd sampai smp aku disekolahkan disebuah sekolah internasional di Jakarta. Entah mengapa aku merasa ada yang kurang dengan sekolahku ini. Padahal disini aku mempunyai banyak teman dari berbagi Negara. Fasilitas sekolahpun sudah tersedia dengan baik. Tapi rasa penasaran itu masih hinggap dalam benakku. Aku merasa ada banyak hal yang belum ku ketahui di luar sana. Oleh karena itu ketika lulus smp aku meminta pada orang tuaku agar aku di sekolahkan ke sma umum. Meskipun agak sulit untuk membujuk mereka, tapi akhirnya aku diizinkan juga.
Kini aku sekolah di sebuah SMA swasta di Jakarta. Baru tiga bulan di sana, rasanya aku sudah merasa betah. Semua kekurangan yang aku rasakan dulu, kini perlahan-lahan sudah mulai terpenuhi. Meskipun aku tidak tahu apa yang membuatku kerasan disini. Mungkin karena di sekolah ini terdapat ragam manusia dari suku dan tempat yang berbeda. Maka dari itu, agama, ras, kebudayaan, dan bahasa merekapun berbeda. Aku banyak belajar berbagai hal tentang keragaman budaya dan karakterisik manusia berdasarkan asal daerahnya. Lalu aku juga mulai mempelajari agama mereka. Aku belajar untuk menghargai dan membantu teman-teman yang kekurangan, aku belajar tentang bagaimana hidup dengan kesederhanaan dan aku juga belajar untuk saling menghormati berbagai perbedaan yang ada pada diri kami agar kami dapat saling memahami.
Teman-temanku berasal dari berbagai tempat yang berbeda. Ada yang berasal dari bandung, jawa tengah, bogor, tanggerang, bahkan sampai aceh pun juga ada. Kadang mereka mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa ibu ketika mengobrol. Yang lebih lucunya yaitu ketika mereka berdebat dengan logat daerah masing-masing, meskipun mereka tidak mengerti bahasa teman berdebatnya itu tetapi mereka tetap saja ngotot mempertahankan egonya masing-masing. Tapi justru dengan perbedaan yang beragam itu aku merasakan kehangatan yang sejati.
Semenjak sekolah disana, aku hampir tidak pernah lagi pergi ke mall. Teman-temanku disini sering sekali mengajak aku jalan-jalan. Tapi uniknya tempat yang mereka tuju bukanlah mall, bioskop atau game center. Tapi mereka sering membawaku ke pertunjukan seni daerah. Disana dipertunjukan kesenian tradisional dan berbagai kebudayaan Indonesia. Alangkah senangnya aku saat itu. Terlebih lagi pertunjukan special setiap sebulan sekali, tentang sejarah para pejuang muslim Indonesia yang menyebarkan agama islam tanpa takut akan peluru-peluru dan bom para penjajah yang senantiasa mengancam mereka setiap saat. Tapi bukan hanya teater saja tempat kami biasa bermain. Pasar minggu tradisional, tempat wisata umum dan taman-taman kota adalah tempat kami biasa menghabiskan waktu untuk refreshing. Mungkin itu semua yang membuat aku merasa betah sekolah disana.
Teman-temanku telah mengajarkan berbagai kebudayaan dan mengajakku ke berbagai tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Dulu aku kira kemewahan, kekayaan, dan jabatan adalah segalanya. Tetapi setelah bertemu mereka, aku merasa bahwa semua itu hanyalah pelengkap hidup saja. Karena dengan kesederhanaan pun aku merasakan kehangatan dalam diri mereka. Aku merasa sangat beruntung sekolah disini.
Dua tahun berlalu sudah, masa-masaku di SMA ini tak pernah membosankan. Terlebih lagi ada orang yang sedang aku taksir. Namanya fatih dia adalah seorang muslim yang baik. Aku sering melihatnya di mesjid. Dia orang yang jujur, sikapnya sopan dan ramah pada setiap orang. Walupun kami berbeda agama tetapi dia tak pernah mempermasalahkan tentang hal itu. Teman-temanku yang lain juga begitu. Mereka menerimaku dengan tangan terbuka. Padahal perbedaan diantara kami terbilang besar. Sejak saat itulah aku tertarik dengan agama islam. Aku kagum pada orang-orang muslim yang terbuka. Aku kagum akan keyakinan mereka yang kuat, dan aku juga kagum pada cerita-cerita perjuangan kaum muslim yang siap mati dalam membela agamanya. Terlebih lagi aku kagum akan isi-isi kandungan al-quran yang slalu meninggikan derajat perempuan dan menyuruh umatnya untuk menghargai dan melindungi perempuan.
Suatu hari, ketika aku duduk sendirian menunggu teman-temanku selesai sembahyang dzuhur, fatih menghampiriku. Dia menyapaku seperti biasanya. Klo di ingat-ingat dia sama sekali tidak pernah menyentuhku. Aku juga tidak pernah bertanya apa alasannya. Tapi kali ini terbersit dalam fikiranku untuk memberanikan diri bertanya padanya.
“ fatih, boleh ngga aku nanya sesuatu?” ucapku ragu.
“ boleh” jawabnya.
“ knapa kamu gak pernah mau salaman ma aku? Truz klo kta lagi ngobrol juga, kamu jarang menatap mata aku langsung. Emang aku sebegitu buruknya ya, dimata kamu? “ tanyaku
Tiba-tiba dia tersenyum. Dan dengan ringannya dia menjawab
“ bukannya aku jijik atau gak suka ma kamu. Tapi islam melarangku untuk menyentuh wanita yang bukan mukhrimnya. Islam juga melarangku untuk berpandangan langsung dengan lawan jenis, karena hal itu bisa menyebabkan jinnah mata. Faham? “
Aku mengangguk kecil. Kini rasa penasaranku terhadap agama islam semakin bertambah. Di sana terdapat berbagai aturan yang rumit dan membingungkan. Aku ingin sekali mengetahui dan memahami apa rahasia yang terdapat di dalamnya. Semakin lama aku fikirkan, semakin besar pula rasa penasaran itu.
“ hey” tepukan ringan dengan sebuah buku pada pundakkku, membangunkanku dari lamunan.
“ knapa? “ tanyanya kemudian.
“ apa kamu masih salah paham dan belum mengerti dengan penjelasanku?” tanyanya lagi.
Tiba-tiba saja kata-kataku keluar dengan sendirinya, menjawab semua pertanyaan fatih.
“ fatih, kamu mau gak ngajarin aku tentang bagaimana itu islam dan cara membaca al-quran ?!” tanyaku respon.
Tentu saja fatih kaget karena aku tiba-tiba bertanya seperti itu. Tapi dengan tegas dia menjawab
“ kalau memang kamu mau mempelajari agamaku, boleh saja. Temui aku di koridor mesjid setiap sepulang sekolah.”
Duh entah bagaimana cara melukiskan betapa bahagianya hatiku ini. Ketika aku sedang kesulitan mempelajari agama islam, ada orang yang dengan senang hati mau mengajariku. Terlebih lagi dia adalah orang yang aku suka. Bagiku ini adalah kesempatan yang jarang sekali didapat.
Sejak saat itu, setiap pulang sekolah aku pergi ke mesjid untuk mempelajari agama yang slama ini asing bagiku. Berbagai pengetahuan tentang islam dari mulai apa itu sholat sampai kewajiban manusia untuk membela agamanya, fatih terangkan kepadaku. Berbagai kaidah-kaidah yang terdapat dalam islam telah aku fahami sedikit demi sedikit. Selain itu aku juga mulai mempelajari cara membaca al-qur’an. Semakin hari, pengetahuanku akan islam semakin bertambah. Guru agama yang biasanya mempersilahkan aku untuk tidak ikut pembelajaran tentang agama islam, kini tak lagi demikian. Karena aku sudah minta izin agar aku diperbolehkan mengikuti pelajaran. Meskipun guru itu sempat meragukan kata-kataku tetapi akhirnya aku diperbolehkan juga untuk ikut mendengarkan dan mempelajari agama islam. Dengan semakin bertambahnya jam terbangku dalam mempelajari islam maka pengetahuanku pun semakin bertambah. Pelajaran faforitku di mata pelajaran islam adalah kisah tentang perjuangan para sahabat nabi ketika melindungi rosululloh SAW. Aku selalu berdecak kagum ketika mendengarkannya, aku tidak menyangka mereka rela mati demi melindungi utusan tuhannya.
Aku benar-benar berterima kasih pada fatih. Selama ini dia telah mengajariku berbagai hal dalam islam. Tapi selama itu pula dia tidak pernah memaksaku untuk masuk ke dalam agamanya. Ia pernah bilang “ jika seseorang masuk agama islam karena paksan, maka hal yang demikian itu tidak akan ada manfaatnya. Itu hanya akan menimbulkan kemudhorotan saja. Tapi jika orang itu masuk agama islam karena keikhlasan dan kecintaannya terhadap alloh, maka orang itu sesungguhnya merupakan orang yang paling beruntung.”
Ketika mendengar kata-kata fatih, kecintaanku terhadap islam semakin bertambah. Begitu pula rasa sukaku padanya. Dimataku dia adalah orang yang benar-benar bijaksana dan toleransi terhadap setiap orang serta agamanya. Kini kami sudah sama-sama kuliah, aku sengaja masuk ke tempat kuliah yang sama dengannya. Terlebih lagi banyak juga sahabat-sahabat sma ku yang berkuliah di sini. Kebiasaan setiap sepulang sekolah dulu pun, masih kami kerjakan sampai sekarang. Kini aku sudah fasih dalam membaca al-quran. kefamahamanku tentang agama islampun semakin bertambah. Tapi tetap saja aku merasa masih ada yang kurang.
Selama beberapa hari ini aku selalu saja bermimpi seolah-olah aku berada di suatu tempat yang gelap. Di sana aku berjalan dengan penuh rasa takut dan cemas. Jalan yang kulewati penuh dengan bebatuan dan kerikil kecil. Sehingga aku sering terjatuh. Tapi setelah aku lama berjalan, aku tetap saja tidak menemukan cahaya. Semakin lama, semakin jauh jarak yang ku tempuh aku tetap saja tidak menemukan cahaya. Justru disana aku malah menemukan 2 jalan yang berbeda. Aku bingung hendak menuju kearah mana. Makin keras usahaku untuk berfikir, jalan yang ku lihatpun semakin gelap. Hingga pada akhirnya aku diam terkujur lemas di ujung kedua persimpangan itu. Setelah itu aku pun terbangun dari tidurku.
Begitulah mimpiku selama beberapa hari ini. Awalnya mimpi itu tidak aku hiraukan, tetapi setelah mimpi itu terus terjadi maka aku pun semakin was-was. Terlebih lagi sekarang adalah masa-masa terakhirku duduk di bangku kuliah. Dengan semua fikiran yang memenuhi otakku ini, aku tidak bisa tidur nyenyak. Otaku ini sudah lelah berputar-putar memikirkan semua pergolakan yang ada dalam diriku ini. Hingga akhirnya aku jatuh sakit. Seminggu sudah aku terbaring lemas di tempat tidur. Papa memanggil dokter untuk memeriksa keadaanku. Dokter hanya bilang kalau aku terlalu banyak berfikir sehingga menimbulkaan ketegangan otak yang berakibat pada ketahanan tubuhku yang menurun. Meskipun dokter bilng kalau aku hanya strees dan kelelahan tapi tetap saja terlihat jelas raut wajah Mama dan papa yang cemas menghawatirkan keadaanku.
Karena sakitku ini aku jadi tidak bisa masuk kuliah. Fatih yang cemas dengan keadaanku menyempatkan diri untuk menjengukku di sela-sela kesibukannya menyelesaikan scripsi. Ketika dia menjengukku aku sempat menceritakan mimpi-mimpi yang selm ini terus saja menghantuiku. Tetapi dia Cuma bilang klo alloh sedang memberikanku ujian yang besar. Dimana pilihanku dapat menentukan jalan hidupku selanjutnya. Jujur saja, aku tidak mengerti dengan ucapannya. Tetapi malam setelah dia mengatakan hal itu. Aku bermimpi hal yang sama tetapi kali ini pada 2 jalan yang berbeda itu terdapat suara-suara yang misterius. Pada jalan sebelah kanan terdengar samar-samar suara ayat-ayat al-quran yang melantun tenang menyejukan hati. Sedangkan pada jalan sebelah kiri terdengar suara-suara keras yang menyuruhku untuk segera masuk ke dalamnya yang menyebabkan kecemasanku semakin bertambah. Sebelum sempat memilih, akupun terbangun dari mimpiku. Setelah terbangun aku berfikir keras untuk mengetahui apa maksud dari lanjutan mimpiku itu. Setelah lelah berfikir akupun beranjak dari tempat tidur. Aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Lalu aku duduk di samping tempat tidur. sambil melamun, ternyata aku membuka lembaran-lembaran kitab al-qur’an. Karena sudah terlanjur ku buka, maka iseng-iseng aku membaca al-qur’an itu. Setelah mulai membaca entah kenapa hatiku merasa tentram. Rasanya semua kepenatanku selama ini hilang sudah. Hingga pada akhirnya aku membaca salah satu ayat yang rasanya pernah aku dengar di suatu tempat. Setelah lama aku berfikir, tiba-tiba dadaku berdekup kencang, seluruh tubuhku bergetar, kedua tanganku terasa dingin. Lalu aku diam terpaku. Semua memory ku berhamburan, semua bayangan mimpiku kembali berputar.
Kini semuanya jelas sudah. ketakukan dan keraguan yang sempat hinggap dalam diriku terasa sirna. Mimpi yang selama ini menghantuiku ternyata sebuah petunjuk. Arti dari kegelapan yang sangat pekat, arti dari batuan kerikil yang berada di jalan, serta arti dari jalan yang bercabang. Semua itu kini terasa jelas bagiku.
Saat itu juga aku panggil seluruh anggota keluargaku. Mereka semua kini berkumpul di kamarku. Kebetulan juga fatih datang menjengukku. Setelah aku melihat semua anggota keluargaku berkumpul, aku mulai berbicara.
“ ma, pa, ternyata semua kegelisahan dan keraguanku selama ini terjawab sudah. Sekarang aku tahu mengapa selama ini hatiku terasa sepi, padahal banyak sekali keluarga dan teman-teman selalu setia menyertaiku. Aku juga kini sudah tahu apa arti dari mimpi yang selama ini selalu menghantui tidurku.”
Aku terdiam sejenak, semua orang yang ada di ruangan ini terlihat bingung dengan semua perkatan ku tadi. Lalu papa pun berkata, memecah kesunyian.
“ lalu apa yang selama ini telah membuatmu begitu risau dan berita apa yang hendak kamu sampaikan hingga mengumpulkan kami semua disini?
Aku tetap saja diam, seolah-olah sedang mengumpukan kekuatan dan keberanian untuk berkata sesuatu. Hingga pada akhirnya semua keberanian itu terkumpul dan aku telah menetapkan hati untuk menyampaikannya kini.
“ ma, pa sebenarnya aku tidak mau menghianati agamaku, tapi aku sudah terlanjur cinta terhadap islam. Semenjak masuk sma, aku sudah mulai tertarik dengan islam. Aku luangkan waktuku setiap sepulang sekolah, Aku pelajari kaida-kaidah islam, aku belajar cara membaca al-quran, dan aku pergi ke teater pertunjukan perjuangan tentara islam. semua itu aku lakukan semata-mata karena rasa tertarikku terhadap agama islam yang sangat besar. Ternyata semakin lama rasa penasaran itu berubah menjadi rasa cinta. Kini islam adalah bagian dari hidupku, sehari tanpa mempelajari islam rasanya bagaikan ada sesuatu yang kurang.”
Semua orang yang ada disana terpaku mendengar perkataanku. Mereka sama sekali tidak bisa berbicara atau berpendapat apapun karena bagi mereka kata-kata ku barusan adalah sesuatu yang sangat asing dan sulit dimengerti. Maklum saja, hampir semua anggota keluargaku adalah kristiani. Belum reda rasa heran mereka, aku melanjutkan kata-kataku tadi.
“ karena itulah, aku ingin bertanya, bolehkah aku masuk islam?”
kali ini kata-kataku benar-benar bagaikan gemuruh petir di siang hari. Mama tiba-tiba saja terduduk lemas, tak terpikirkan olehnya bahwa aku akan berkata demikian. Ayah tertunduk khusu bagaikan sedang berperang dengan semua fikiran yang berada dalam otaknya. Fatihtersenyum lembut, seolah berkata, “akhirnya kamu menemukan semua jawabannya”. Keyakinanku kini semakin bulat. Aku berjalan menuju kearah mama yang sedang terduduk lemas. Lalu akupun berjongkok. Sambil memegang kedua tangannya, akupun berkata:
“ ma, mama ingat? Aku pernah bercerita tentang mimpi yang selalu saja menghantuiku selama ini. Dan kini aku tahu apa maksud dari mimpiku itu ma. Tersesat dalam kegelapan artinya bahwa selama ini aku belum menemukan agama yang benar-benar tepat untukku. Sedangkan batu dan kerikil yang membuatku tersandung adalah usahaku dalam mencari dan mempelajari agamanya islam banyak terhalang oleh kendala-kendala kecil. Lalu jalan panjang yang telah ku lalui tanpa menemukan cahaya artinya meskipun aku mempelajari islam tapi aku belum menemukan tujuan yang selama ini ku cari. Dua cabang jalan yang aku temui artinya aku kini berhadapan pada dua pilihan sulit yang menentukan nasibku kemudian. Pilihan sulit itu adalah agama yang hendak aku pilih sebagaai pedomanku dihari kelak yaitu antara Kristen yang selama ini telah aku anut dengan taat dari semenjak lahir dan islam yang merupakan agama yang aku pelajari selama ini dengan keyakinan dan kepercayaanku. Dan mama tau apa kelanjutan dari mimpiku itu ma?”
aku menghela nafas sejenak lalu aku lanjutkan ceritaku itu.
“ pada 2 jalan yang berbeda itu terdapat suara-suara yang misterius. Pada jalan sebelah kanan terdengar samar-samar suara ayat-ayat al-quran yang melantun tenang menyejukan hati. Sedangkan pada jalan sebelah kiri terdengar suara-suara keras yang menyuruhku untuk segera masuk ke dalamnya. Dan mama tahu? Kali Ini aku telah menemukan jalan yang tepat. jalan yang kurindukan. Jalan yang selama ini telah ku cari. aku memutuskan untuk mengambil jalan sebelah kanan, dimana terdengar suara lantunan al-quran. Dan saat itu pula lah aku telah memilih islam sebagai agama yang akan menjadi pedomanku untuk selamanya.”
Tetesan airmata tiba-tiba mengalir di kedua pipi mama. Semua orang yang ada dikamarku terdiam kaku tanpa kata-kata. Perlahan-lahan papa mendekatiku. Di memelukku, lalu digenggamnya kedua tangnku ini. Dengan suara perlahan tapi lembut papa berkata “ feli, papa tahu semakin lama kamu semakin dewasa dan kamu pasti sudah tahu apa yang salah dan benar. Jika memang islam adalah agama yang terbaik untukmu, maka raihlah. Pegang teguh keyakinanmu itu. Pelajarilah islam itu sampai kamu mengerti dengan benar. Jangan sekali-kali kamu menyesal akan pilihanmu. Papa percaya kamu pasti telah memikirkannya dengan masak. Dan papa akan dukung semua pilihanmu itu. Jangan lupa. Kita itu hidup di negra hukum, jadi kamu bebas memilih agama yang kamu anggap benar.”
Ucapan dari papa bagaikan aliran air kecil di padang pasir. Sungguh sejuk dan menentramkan jiwa. Keluargaku yang lain juga nampaknya setuju dengan pendapat papa. Saat itu juga dengan disaksikan seluruh anggota keluargaku dan fatih, aku mengucapkan kalimah syahadat sebagai tanda bahwa aku sudah menjadi seorang muslim yang baru.

mengejar ilmu di kolong jembatan

Hari-hariku disini terasa berat. Bagaimana tidak? Anak kecil sepertiku yang baru berumur 6 tahun ini harus hidup berdua bersama kakakku dikolong jembatan. Padahal anak seumuran kami seharusnya duduk nyaman dibangku sekolah dan bermanja-manja kepada orang tua. Tapi sejak bapa dan ibuku meninggal, kami hidup sebatang kara.
Bapaku mati bunuh diri karena penyakit yang selama ini menggerogotinya. Sejak penyakit itu menyerang bapak 5 tahun yang lalu, bapak tidak bisa lagi bekerja menafkahi kami semua. Karena itulah beliau merasa bersalah dan memilih mengakhiri hidupnya agar tidak merepotkan kami. Ibu yang bekerja banting tulang untuk mengantikan ayah, semakin lama semakin kurus, hingga beliau meninggal dunia 2 tahun kemudian setelah ayah meninggal. Padahal luka hati setelah ditinggalkan bapak. baru saja sembuh Tapi hati ini harus terluka lebih dalam setelah ibu meninggal. Apalagi ketika kami memikirkan apa yang harus kami lakukan? Bapak dan ibu sudah tidak ada, sanak saudarapun kami tak punya. Lalu kepada siapa kami harus menggantungkan hidup? Kolong jembatanlah satu-satunya tempat kami tinggal.
Kini nasib kami hanya tergantung pada kardus-kardus dan botol minuman bekas. Tidak ada setitik harapan pun untuk kami bersekolah. Andaikan ada uang, tidak akan mungkin cukup untuk membayar biaya sekolah. Uang itu hanya cukup untuk persediaan makan dan kebutuhan kami sehari-hari. Untuing saja tetangga kami yang hidup senasib dikolong jembatan mau bermurah hati membantu kami di saat kami sedang kesusahan.
Iri rasanya, melihat anak-anak seumuran kami berangkat sekolah sambil ditemani orang tuanya. Sedangkan kami sibuk mencari nafkah demi sesuap nasi. Saat itu, tak terungkapkan betapa sakitnya hati ini. Tapi kami tidak akan menyerah pada nasib. Nasiblah yang selama ini telah menempa kami menjadi anak-anak yang kuat. Akan kami jadikan ini sebuah modal untuk menjalani hidup.
Sambil mengumpulkan kardus, kami memungut buku-buku palajaran yang sudah dianggap tak layak digunakan, kami kumpulkan semuanya, karena bagi kami semua itu merupakan gudang ilmu yang tak ternilai harganya. Dengan diterangi lampu pijar, setiap malam kami belajar bersama. Kakak lah yang mengajariku karena dia sempat masuk sekolah dan berhenti di kelas 5 SD. Sedangkan kakakku ikut belajar secara sembunyi-sembunyi di lubang kelas yang temboknya bolong. Meski dia sering dimarahi satpam sekolah tapi ia tak pernah kapok. Demi menuntut ilmu yang kami anggap berharga.
Yah, meskipun hidup serba kekurangan tapi kami tidak akan pernah menyerah. Akan kami ubah kekurangan itu menjadi kelebihan kami. Meski hanya menuntut ilmu dikolong jembatan tapi kami banyak mendapatkan pelajaran berharga. Kami yakin dengan tekad yang kuat, kami bisa memperbaiki hidup menjadi lebih baik. Aku harap sesudah besar nanti, aku bisa berguna bagi nusa dan bangsa. Tentunya untuk indonesiaku tercinta.