Senin, 20 April 2009

mengejar ilmu di kolong jembatan

Hari-hariku disini terasa berat. Bagaimana tidak? Anak kecil sepertiku yang baru berumur 6 tahun ini harus hidup berdua bersama kakakku dikolong jembatan. Padahal anak seumuran kami seharusnya duduk nyaman dibangku sekolah dan bermanja-manja kepada orang tua. Tapi sejak bapa dan ibuku meninggal, kami hidup sebatang kara.
Bapaku mati bunuh diri karena penyakit yang selama ini menggerogotinya. Sejak penyakit itu menyerang bapak 5 tahun yang lalu, bapak tidak bisa lagi bekerja menafkahi kami semua. Karena itulah beliau merasa bersalah dan memilih mengakhiri hidupnya agar tidak merepotkan kami. Ibu yang bekerja banting tulang untuk mengantikan ayah, semakin lama semakin kurus, hingga beliau meninggal dunia 2 tahun kemudian setelah ayah meninggal. Padahal luka hati setelah ditinggalkan bapak. baru saja sembuh Tapi hati ini harus terluka lebih dalam setelah ibu meninggal. Apalagi ketika kami memikirkan apa yang harus kami lakukan? Bapak dan ibu sudah tidak ada, sanak saudarapun kami tak punya. Lalu kepada siapa kami harus menggantungkan hidup? Kolong jembatanlah satu-satunya tempat kami tinggal.
Kini nasib kami hanya tergantung pada kardus-kardus dan botol minuman bekas. Tidak ada setitik harapan pun untuk kami bersekolah. Andaikan ada uang, tidak akan mungkin cukup untuk membayar biaya sekolah. Uang itu hanya cukup untuk persediaan makan dan kebutuhan kami sehari-hari. Untuing saja tetangga kami yang hidup senasib dikolong jembatan mau bermurah hati membantu kami di saat kami sedang kesusahan.
Iri rasanya, melihat anak-anak seumuran kami berangkat sekolah sambil ditemani orang tuanya. Sedangkan kami sibuk mencari nafkah demi sesuap nasi. Saat itu, tak terungkapkan betapa sakitnya hati ini. Tapi kami tidak akan menyerah pada nasib. Nasiblah yang selama ini telah menempa kami menjadi anak-anak yang kuat. Akan kami jadikan ini sebuah modal untuk menjalani hidup.
Sambil mengumpulkan kardus, kami memungut buku-buku palajaran yang sudah dianggap tak layak digunakan, kami kumpulkan semuanya, karena bagi kami semua itu merupakan gudang ilmu yang tak ternilai harganya. Dengan diterangi lampu pijar, setiap malam kami belajar bersama. Kakak lah yang mengajariku karena dia sempat masuk sekolah dan berhenti di kelas 5 SD. Sedangkan kakakku ikut belajar secara sembunyi-sembunyi di lubang kelas yang temboknya bolong. Meski dia sering dimarahi satpam sekolah tapi ia tak pernah kapok. Demi menuntut ilmu yang kami anggap berharga.
Yah, meskipun hidup serba kekurangan tapi kami tidak akan pernah menyerah. Akan kami ubah kekurangan itu menjadi kelebihan kami. Meski hanya menuntut ilmu dikolong jembatan tapi kami banyak mendapatkan pelajaran berharga. Kami yakin dengan tekad yang kuat, kami bisa memperbaiki hidup menjadi lebih baik. Aku harap sesudah besar nanti, aku bisa berguna bagi nusa dan bangsa. Tentunya untuk indonesiaku tercinta.

Tidak ada komentar: